Senin, 16 Juli 2012

LI’AN


1.  PENGERTIAN LI’AN DAN KASUS LI’AN
 
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321, terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an. “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi saw. Kemudian Nabi saw bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi saw beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi saw bersabda, 
“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi saw bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi saw. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.”
2.  HUKUM-HUKUM YANG MENIMPA ORANG YANG MELAKUKAN LI’AN
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
1.    Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”
2.     Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”
3.    Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi saw), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.”
4.    Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.”
5.    Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar