Senin, 16 Juli 2012

Pengemis Kereta Api



Entah sudah berapa puluh kali aku naik kereta api itu. Begitu seringnya, sampai-sampai dari kondektur hingga pengemis yang suka berkeliaran hampir aku paham.
Ada salah seorang dari beberapa pengemis di kereta api itu yang lekat betul dengan ikatanku.dia perempuan setengah tua, berembut lurus, dan berkulit hitam. Setiap kali mengemis, perempuan itu selalu tanpa alas kaki,menggendong anak kecil yang selalu disusuinya.
Sering muncul rasa iba dalam hatiku melihat anak kecil itu. Mestinya anak kecil itu bisa merasakan tidur yang nyenyak tanpa gangguan, dalam suasana sehat. Mestinya ia tida harus terlibat dengan suasana kereta yang selalu penuh seska dan pengap. Untungnya anak itu tidak pernah merasa terusik oleh profesi ibunya dan keadaan sekeliling. Tinggal aku yang diam-diam mendesah perlahan. Betapa berat perjalanan hidup anak itu…
Akan tetapi, suatu hari tiba-tiba aku menyaksikan perubahan yang mengherankan pada wanita pengemis itu. Perempuan setengah umur itu tidak lagi menjadi seorang pengemis . Dia sekarnang beralih menjadi penjual manggis. Aku heran campur kagum. Padahal seminggu lalu, ketika aku naik kereta itu aku masih melihat dia menjalankan profesi lamanya. Kok, bisa berubah begitu cepatnya??
Sebenarnya rasa heranku itu didasari rasa senang. Aku merasa, perubahan profesi itu menyimpan makna besar: semangat mengubah nasib! Semangat memperbaiki diri.
Hari itu sungguh membangkitkan rasa ingin tahuku. Karena itu, ketika wanita itu sedang berdiri sendirian di ujung gerbang, kudekati dia dengan pura-pura ingin beli.
“ Berapa harga manggisnya bu?” tanyaku
“Lima ratus rupiah mas” jawabnya ramah.
“Bisa kurang”
“Aduhh…nanti saya tidak bisa beli lagi. Betul mas, saya hanya mengambil seratus rupiah ”
    Kutatap wajah ibu itu. Ada sinar kesungguhan dalam bola matanya yang sayu. Entah kenapa, sinar mata itu memberitahukan betapa berat perjalanan hidup yang dialaminya. Tapi di sudut lain mata itu, kutemukan pula sinar ketabahan yang besar.
    “Sejak kapan ibu jualan buah manggis? Bukankah seminggu yang lalu ibu belum berjualan?” tanyaku perlahan, takut menyinggung perasaannya.
Perempuan itu tampak terkejut.tapi kemudian seulas senyuman terukir di bibirnya yang kering.
“Darimana mkas tahu ?” tanyanya
Aku balik tersenyum ramah, mencoba menghilangkan salah pengertian antara kami.
“Ibu jangan khawatir, maksud saya baik. Saya penumpang setia kereta ini. Saya senang dan kagum melihat semangat ibu mengubah nasib.”
“Ah, saya kira itu biasa. Siapa orang di dunia ini ingin menjadi pengemis seumur hidupnya ?”
“Ibu betul. Tapi kenapa tidak dari dulu ibu melakukannya ?”
“Saya tidak punya modal”
“Kan bisa pinjam dari orang lain”
“Sulit. Mereka tidak percaya sama orang miskin kayak saya.”
“Maaf. Lalu bagaimana ibu bisa berjualan seperti ini ?”
Perempuan itu tersenyum sambil memebenahi buah manggis dagangannya.
“Saya kumpulkan sebagian uang dari belas kasihan orang-orang. Dan ini hasilnya.” Ujarnya sambil mengajungkan buah manggis dagangannya kepadaku.
“Karena bagaimana pun juga, saya menginginkan perubahan nasib yang lebih baik. Semula saya tak pernah bermimpi melakukan pekerjaan rendah itu. Keadaan dan tanggung jawablah yang menuntut saya melakukannya. Suami saya hanya buruh tani, sedang anak-anak butuh makan.”
Aku termenung mendengar ucapan ibu itu. Hidup itu memang keras. The life is struggle. Struggle for exist and survival.
Tiba-tiba aku teringat akan keadaanku sendiri. Aku sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita itu. Bedanya, aku berusaha mengubah nasib dengan kuliah. Walaupun untuk itu aku harus hidup sesederhana daqn seprihatin mungkin. Tapi aku tak pernah menyesal. Bahkan kini aku lebih bersyukur karena ternyata masih ada orang yang lebih miskin dariku.
Sebagai bagian dari rasa syukur itu, aku membeli seikat buah manggis dagangan ibu itu, meski sesungguhnya aku tak terlalu butuh.
“Tidak ada kembaliannya mas. Apa tambah satu ikat lagi biar pas uangnya?” Tanya ibu itu sambil menyodorkan kembali uang yang baru kuberikan.
“Tidak usah bu, buah ini sudah cukup buat saya. Kembaliannya ibu ambil saja.” Kataku sungguh-sungguh.
“Terima kasih mas” balas ibu itu dengan nada yang tidak kalah tulus.
Dan hari itu aku pulang kampung dengan snyum dan hati yang lebih bahagia. Bahagia karena bisa membahagiakan orang lain, meski hanya kecil : memberi dorongan semangat pada ibu yang ulet itu untuk terus melanjutkan perjuangannya. Sementara aku sendiri memperoleh dorongan semangat darinya : betapa kita tak perlu kehilangan arah, seberat apapun beban yang terpikul oleh bahu kita.

1 komentar: